Seminar daring manajemen data Covid-19 di DIY

Tujuh bulan berjalan, kehidupan kita dijerat pandemi. Sejatinya, kehidupan berangsur-angsur “normal”. Beberapa hari yang lalu, pak RT di lingkungan saya mengumumkan kalau ada salah satu warga yang dirawat di rumah sakit karena Covid-19. Reaksi di grup WA tidak heboh, layaknya membaca berita warga yang sakit seperti biasanya.

Hanya ada tambahan permohonan pak RT agar mematuhi protokol kesehatan, usulan iuran kepada warga yang terdampak dan desinfektansi lingkungan perumahan. Kita juga mendoakan yang sakit segera sembuh, baik dalam hati maupun dituliskan secara verbal di grup aplikasi perpesanan. Semoga, hanya OTG dan segera sembuh. Dan, tidak ada tilik-tilik-an.

Namun, seminggu sebelumnya, saya sedih tiada terperi. Suami teman saya, yang sama-sama bekerja di UGM, meninggal karena Covid-19. Beberapa waktu yang lalu, seorang kawan yang sedang menempuh pendidikan residensi di Jakarta harus melewati 9 hari di ICU karena mengalami Covid-19 derajat berat.

Siapa bilang ini pandemi main-main. Sahabat sekaligus ketua angkatan semasa kuliah syahid karenanya. Penyakit ini pula yang mengantarkan Prof Iwan, guru sekaligus panutan banyak orang, kembali kepada rahmatullah. Al fatihah……

Namun, mengiringi berjalannya waktu, wabah global ini masih tak menentu. Ancaman gelombang kedua menghantui Eropa. Negara jiran, Malaysia, juga mengalami tantangan serupa. Mereka menyebutnya sebagai gelombang ketiga.

Sumber: Worldometer, 21 Oktober 2020

Karena Indonesia adalah negara kepulauan, nampaknya sudah tidak terhitung banyaknya lonjakan wabah, sebagaimana deretan gelombang ombak yang berkejaran menuju ribuan pantai di nusantara. Yang terlihat nyata adalah satu gelombang yang membumbung tinggi dengan 4 ribuan kasus per hari. Hari kemarin turun ke angka 3-ribuan. Entah, besok.

Semoga terus turun. Ini adalah doa, menghayati Pancasila, sila pertama. Saat melihat kapasitas testing dan surveilans yang terlihat kepayahan, sama lelahnya dengan tenaga kesehatan yang berjibaku penuh keringat di balik APD, ini seperti doa orang yang tidak berdaya. Jika tak berdaya karena teraniaya, moga-moga doanya makbul. Lha siapa yang menganiaya?

Teman-teman di fasilitas pelayanan kesehatan memiliki tugas mulia, meski tak henti didera stigma. Mengobati yang sakit di fasilitas pelayanan kesehatan sekunder, dan sekuat tenaga melakukan pencegahan, pemantauan, pelacakan dan mendeteksi di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Setiap kegiatan didokumentasikan, diolah, dipelajari, dicermati polanya, diterjemahkan dalam bentuk rekomendasi. Pimpinan fasyankes mengirimkannya kepada otoritas kesehatan yang berwenang. Ujungnya, berbagai kebijakan untuk melindungi semua warga dari wabah ini.

Lazimnya seperti itu. Sayangnya, ini bukan sesi di sebuah kuliah tentang surveilans. Apalagi sekarang, saat kuliah daring kadang juga terganggu sinyalnya.

Banyak orang bilang bahwa kita sudah memasuki era Revolusi Industri 4.0. Beragam teknologi terkini, (ABCD=AI, Blockchain, Cloud Computing, big Data dan jargon-jargon lain yang saya juga belum paham) menawarkan solusi kekinian sesuai dengan karakteristik lingkungan sekarang. Namun, tulisan mas Ahmad Arif yang dimuat di Kompas pada 14 Oktober yang lalu menyampaikan fakta yang bertolak belakang.

Mahadata, Maha-sia-sia. Sumber: Kompas, 14 Oktober 2020

Percikan pemikiran kritis mas Aik tentang pandemi bertebaran di Kompas dan sosial media, khususnya Twitter. Tidak mengherankan jika tulisan-tulisannya kaya data dan makna, karena mas Aik adalah inisiator Lapor Covid-19,

Besok, Kamis 22 Oktober, pukul 10.00-12.00, saya ingin belajar langsung dari mas Arif yang akan hadir sebagai pembahas di seminar daring tentang Manajemen Data Covid-19: Sampai Kapan Kita Akan Seperti ini?.

Selain mas Arif, akan ada drh. Berty (Kabid P2 Dinkes Provinsi), dr. Novi dari RSA UGM dan dr. Evita dari Puskesmas Mlati 2 (Sleman) sebagai narasumber. Nampaknya seru… (kalau kebrebegen, volume suaranya dikecilin….)

Silakan mendaftar di bit.ly/registrasi-srrcovid jika berminat. Gratis kok, cemilan disiapin sendiri-sendiri.

Continue Reading

Antisipasi DBD dan BPJS Kesehatan

Musim hujan, potensi DB (Demam Berdarah) harus diantisipasi. Demikian dituliskan di Pojok KR tertanggal 13 November 2018. Namun, apa kaitan antara DB atau DBD (Demam Berdarah Dengue) dengan BPJS Kesehatan?
DBD bukan penyebab berdarah-darahnya defisit BPJS Kesehatan. Penyakit tidak menular seperti jantung, kanker dan strokelah yang menjadi penyedot terbesar anggaran BPJS. Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD juga tidak bakal mengganggu neraca keuangannya. Pemerintah daerah atau pusatlah, bukan BPJS Kesehatan, yang akan menanggung biaya KLB DBD.
Defisit tapi Surplus
Secara keuangan BPJS Kesehatan mengalami defisit. Namun, dari segi data lembaga ini surplus bahkan melimpah ruah.
Dalam seminar Big Data for Improving Health Policy di Yogyakarta pada 7 November 2018, BPJS Kesehatan menyampaikan bahwa 2.446 Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL), 22.681 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama beserta sejumlah apotik dan optik rutin menyumbang data secara elektronik. Rerata per hari tercatat 612 ribu transaksi kesehatan.
Berbagai titik layanan tersebut menghasilkan data dengan volume besar, secara cepat, memuat beragam jenis dan variasi kualitas. Data penting yang meliputi aspek klinis (keluhan, diagnosis, pengobatan dan tindakan), demografis (karakteristik individu), riwayat rujukan, luaran pelayanan (sembuh, dirujuk atau meninggal) sampai dengan perilaku pembayaran premi tersimpan di basis data. Diduga karena motif finansial, fasilitas kesehatan relatif lebih tertib dalam mengelola dan memasukkan data ke dalam sistem elektronik.
Kekayaan data inilah yang bermanfaat untuk antisipasi DBD.
Mahadata untuk antisipasi DBD
Eksosistem mahadata yang disertai dengan teknologi pengolahan dan visualisasi data merupakan aset tak ternilai bagi para pembuat keputusan. Termasuk diantaranya adalah para pengelola kebijakan penanggulangan penyakit DBD baik di tingkat daerah maupun pusat.
Mereka memerlukan dukungan informasi yang lengkap, tepat waktu dan akurat. Analisis terinci mengenai gambaran kesakitan DBD, persebarannya, populasi terinfeksi, pola penularan, faktor risiko sampai dengan determinan lingkungan sangatlah diperlukan dalam untuk surveilans DBD. Informasi yang tepat dapat membantu Dinas Kesehatan dalam mengalokasikan sumber daya dan menggerakkan kegiatan. Dampaknya, upaya pencegahan, promosi kesehatan yang terarah di masyarakat, intervensi epidemiologis di lingkungan sampai dengan penyiapan fasilitas kesehatan bisa berlangsung secara efektif dan efisien. Teknologi mahadata memungkinkan sajian analisis dari yang sederhana, pemetaan kasus dan faktor risiko, data mining maupun yang lebih maju melalui sistem prediksi.
Mahadata tersebut dapat menggambarkan perjalanan alamiah penyakit DBD secara terinci dengan menyatukan data di FKTP dan FKRTL. Integrasi tersebut sangatlah memungkinkan dengan diterapkannya NIK (Nomer Induk Kependudukan) sebagai penanda unik peserta BPJS Kesehatan.
Peluang regulasi
Dari sudut pandang teknologi, banyak potensi yang dapat diangkat. Secara regulasi, apakah memungkinkan? Bolehkah data klaim yang pada dasarnya untuk kepentingan pembiayaan digunakan di luar tujuan tersebut?
Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan no 82/2018 menyebutkan pada pasal 84 ayat 1 “Dalam rangka pengambilan kebijakan di bidang kesehatan di Daerah, BPJS Kesehatan wajib memberikan data dan informasi kepada Kepala Dinas Kesehatan kabupaten/kota dan Kepala Dinas Kesehatan provinsi setempat secara berkala setiap 3 (tiga) bulan”. Pada ayat berikutnya disebutkan bahwa jenis data tersebut termasuk jenis penyakit dan kunjungan ke fasilitas kesehatan. Regulasi ini menjadi landasan penting upaya antisipasi DBD dengan memanfaatkan mahadata BPJS Kesehatan. Upaya tersebut akan memperkuat Dinas Kesehatan karena pedoman Kemenkes tentang surveilans DBD tidak disertai dengan aplikasi elektronik.
Di kancah internasional, Taiwan menyediakan 5% sampel data klaim jaminan kesehatan untuk kepentingan riset. Efek positifnya, lebih dari seribu makalah di jurnal internasional telah diterbitkan. Di Korea Selatan, data klaim jaminan kesehatan dihubungkan dengan data lingkungan untuk memberikan pengingat kepada masyarakat tentang risiko lingkungan.
Jelaslah bahwa BPJS Kesehatan berpotensi penting mengantisipasi penyakit DBD melalui penguatan sistem surveilans. Mekanisme berbagi data serta kerangka kerjasama antara BPJS Kesehatan dengan Dinas Kesehatan dalam menggunakan data tersebut perlu segera ditetapkan. Mumpung musim hujan baru saja mulai dan genangan air belum banyak bertebaran sebagai wahana berkembangbiaknya telur dan nyamuk Aedes aegypti.

dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 15 November 2018. 

 

 

Antisipasi DBD dan BPJS Kesehatan
Opini KR, 15 November 2018

Continue Reading