Secara global, telemedicine naik daun sejak pandemi COVID-19, termasuk di Indonesia. Di awal pandemi, salah satu pidato pak Jokowi menyampaikan tentang peningkatan akses penggunaan aplikasi kesehatan.
Dampak positifnya adalah memberikan alternatif kepada masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan. Adakah dampak negatifnya? Ya, ada. Salah dua diantaranya adalah privasi dan keamanan.
Tadi malam kami diskusi panjang mengenai topik tersebut. Hal ini tidak telepas dari pengalaman membantu mengawal platform virtual di PERSI. Tidak spesifik tentang telemedicine, tetapi berkaitan dengan pelepasan data pribadi kepada pihak ketiga. Ini juga menarik karena privasi juga berkaitan dengan akun pribadi yang tersebar di berbagai platform media sosial. Apakah ini berisiko, tentu saja ada risikonya. Sebagai contoh data pribadi kita yang juga tersimpan di sistem BPJS Kesehatan.
Privacy terkait dengan sistem keamanan data. Di saat masyarakat semakin familiar mengakses layanan digital, termasuk di bidang kesehatan, upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan perilaku sehat dan aman dalam menggunakan Internet tentu perlu menjadi perhatian. Ini nampaknya menarik untuk dijadikan topik pengabdian masyarakat.
Selain peningkatan perilaku sehat, masyarakat juga perlu mendapatkan dukungan dan bantuan jika data pribadinya bocor dan digunakan oleh pihak ketiga untuk hal-hal yang merugikan, bahkan sampai menjurus ke tindakan kriminal (cybercrime).
Minggu depan nampaknya bakal ada diskusi yang menarik mengenai hal ini.
Tujuh bulan berjalan, kehidupan kita dijerat pandemi. Sejatinya, kehidupan berangsur-angsur “normal”. Beberapa hari yang lalu, pak RT di lingkungan saya mengumumkan kalau ada salah satu warga yang dirawat di rumah sakit karena Covid-19. Reaksi di grup WA tidak heboh, layaknya membaca berita warga yang sakit seperti biasanya.
Hanya ada tambahan permohonan pak RT agar mematuhi protokol kesehatan, usulan iuran kepada warga yang terdampak dan desinfektansi lingkungan perumahan. Kita juga mendoakan yang sakit segera sembuh, baik dalam hati maupun dituliskan secara verbal di grup aplikasi perpesanan. Semoga, hanya OTG dan segera sembuh. Dan, tidak ada tilik-tilik-an.
Namun, seminggu sebelumnya, saya sedih tiada terperi. Suami teman saya, yang sama-sama bekerja di UGM, meninggal karena Covid-19. Beberapa waktu yang lalu, seorang kawan yang sedang menempuh pendidikan residensi di Jakarta harus melewati 9 hari di ICU karena mengalami Covid-19 derajat berat.
Siapa bilang ini pandemi main-main. Sahabat sekaligus ketua angkatan semasa kuliah syahid karenanya. Penyakit ini pula yang mengantarkan Prof Iwan, guru sekaligus panutan banyak orang, kembali kepada rahmatullah. Al fatihah……
Karena Indonesia adalah negara kepulauan, nampaknya sudah tidak terhitung banyaknya lonjakan wabah, sebagaimana deretan gelombang ombak yang berkejaran menuju ribuan pantai di nusantara. Yang terlihat nyata adalah satu gelombang yang membumbung tinggi dengan 4 ribuan kasus per hari. Hari kemarin turun ke angka 3-ribuan. Entah, besok.
Semoga terus turun. Ini adalah doa, menghayati Pancasila, sila pertama. Saat melihat kapasitas testing dan surveilans yang terlihat kepayahan, sama lelahnya dengan tenaga kesehatan yang berjibaku penuh keringat di balik APD, ini seperti doa orang yang tidak berdaya. Jika tak berdaya karena teraniaya, moga-moga doanya makbul. Lha siapa yang menganiaya?
Teman-teman di fasilitas pelayanan kesehatan memiliki tugas mulia, meski tak henti didera stigma. Mengobati yang sakit di fasilitas pelayanan kesehatan sekunder, dan sekuat tenaga melakukan pencegahan, pemantauan, pelacakan dan mendeteksi di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Setiap kegiatan didokumentasikan, diolah, dipelajari, dicermati polanya, diterjemahkan dalam bentuk rekomendasi. Pimpinan fasyankes mengirimkannya kepada otoritas kesehatan yang berwenang. Ujungnya, berbagai kebijakan untuk melindungi semua warga dari wabah ini.
Lazimnya seperti itu. Sayangnya, ini bukan sesi di sebuah kuliah tentang surveilans. Apalagi sekarang, saat kuliah daring kadang juga terganggu sinyalnya.
Banyak orang bilang bahwa kita sudah memasuki era Revolusi Industri 4.0. Beragam teknologi terkini, (ABCD=AI, Blockchain, Cloud Computing, big Data dan jargon-jargon lain yang saya juga belum paham) menawarkan solusi kekinian sesuai dengan karakteristik lingkungan sekarang. Namun, tulisan mas Ahmad Arif yang dimuat di Kompas pada 14 Oktober yang lalu menyampaikan fakta yang bertolak belakang.
Percikan pemikiran kritis mas Aik tentang pandemi bertebaran di Kompas dan sosial media, khususnya Twitter. Tidak mengherankan jika tulisan-tulisannya kaya data dan makna, karena mas Aik adalah inisiator Lapor Covid-19,
Besok, Kamis 22 Oktober, pukul 10.00-12.00, saya ingin belajar langsung dari mas Arif yang akan hadir sebagai pembahas di seminar daring tentang Manajemen Data Covid-19: Sampai Kapan Kita Akan Seperti ini?.
Selain mas Arif, akan ada drh. Berty (Kabid P2 Dinkes Provinsi), dr. Novi dari RSA UGM dan dr. Evita dari Puskesmas Mlati 2 (Sleman) sebagai narasumber. Nampaknya seru… (kalau kebrebegen, volume suaranya dikecilin….)
Silakan mendaftar di bit.ly/registrasi-srrcovid jika berminat. Gratis kok, cemilan disiapin sendiri-sendiri.
Nampaknya, hampir semua kegiatan rutin kita berubah semenjak pandemi. Mulai dari bekerja, beribadah, belajar, berolahraga bahkan sampai dengan urusan perut, yaitu makan dan minum. Kecuali, urusan perut lainnya, yaitu BAB dan BAK yang tidak berbeda jauh. Hmmmm …. kalau diteliti ada bedanya mungkin ya, terutama perilaku cuci tangan dan menggunakan toilet umum.
Untuk dapat mengikuti kegiatan tersebut, peserta harus mendaftarkan diri di situs PERSI Virtual Event
Ada dua jenis tiket. Yang pertama, gratis, untuk mengikuti seminar, industrial symposia dan pamerah virtual dari berbagai sponsor. Tiket yang kedua, berbayar untuk mengikuti beragam workshop. Terdapat 10 workshop yang dapat dipilih.
Saat ini, tim PERSI sedang menyosialisasikan kegiatan ini. Nampaknya memang tidak mudah. Harian Kompas edisi Minggu 18 Oktober kemarin juga mengulas tantangan penyelenggaraan virtual event.
Acara virtual ini akan menjadi pengalaman belajar yang istimewa bagi PERSI, karena baru pertama kali menyelenggarakan. Pengalaman PERSI dalam menyelenggarakan acara virtual tersebut bisa menjadi sumber belajar yang berharga bagi berbagai institusi yang akan menyelenggarakan kegiatan serupa.
Prospek kongres ilmiah virtual
Ketika status pandemi belum dicabut, acara virtual seperti itu kemungkinan akan banyak diselenggarakan. Pasca pandemipun, acara tersebut bisa menjadi alternatif, jika banyak bukti menunjukkan bahwa penyelenggaraan kegiatan ilmiah dapat berlangsung secara efektif dan efisien.
Dalam opini yang dimuat di jurnal European Urologi dengan judul Traditional and Virtual Congress Meetings During the COVID-19 Pandemic and the Post-COVID-19 Era: Is it Time to Change the Paradigm? Porpiglia dkk menuliskan:
We hope that by the end of the COVID-19 emergency, we will enjoy a new reality in which technology and sociality go together in order to offer a more engaging and adaptable scientific congress experience, allowing more flexible and dynamic use of content, modulated to the needs of each attendee.
Porpiglia, Francesco, et al. “Traditional and Virtual Congress Meetings During the COVID-19 Pandemic and the Post-COVID-19 Era: Is it Time to Change the Paradigm?.” European Urology (2020).
Saat ini sampai dengan akhir tahun 2021 mendatang, saya terlibat dalam tim penelitian yang dipimpin oleh dr. Elsa Herdiana, Ph.D dari Pusat Kedokteran Tropis UGM tentang tata kelola e-diagnostik malaria. Salah satu inovasinya adalah mencoba menerapkan regulatory sandbox untuk beragam inovasi digital pada program eliminasi malaria. Penelitian ini didanai oleh Rispro LPDP bekerja sama dengan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis Kemenkes, Dinkes Provinsi DIY, UNICEF dan Asosiasi Healthtech Indonesia.
Serangkaian FGD telah dilaksanakan untuk memahami program eliminasi malaria yang berjalan saat ini melibatkan perwakilan fasilitas pelayanan kesehatan, dinas kesehatan, ahli malaria, development partner sampai dengan para pelaku inovasi kesehatan digital. Seminar daring tentang telemedicine dan artificial intelligence yang terkait dengan program malaria juga pernah dilaksanakan.
Seminar daring yang juga sangat menarik adalah mengenai regulatory sandbox yang menghadirkan pembicara dari Kementerian Kesehatan Singapura dan Otoritas Jasa Keuangan.
Pentingnya regulasi inovasi kesehatan digital juga telah dimuat di Media Indonesia.
Kini, tim sedang mempersiapkan model regulatory sandbox bersama-sama dengan Subdit Malaria di Direktorat PPPTVZ. Kami berharap inovasi ini bisa mulai dijalankan pada bulan Januari 2021. Sambil mempersiapkan, saya juga membuat video tentang regulatory sandbox yang saya siapkan untuk mahasiswa S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat FKKMK UGM dalam perkuliahan Informatika Kesehatan.
Efektif tidaknya app kesehatan untuk membantu pengendalian PTM bergantung kepada banyak hal. Di antaranya adalah fungsi, kualitas, kemudahan dan biaya app, jenis penyakit tidak menular, perubahan perilaku yang diharapkan, karakteristik pengguna, interaksi dengan tenaga atau fasilitas kesehatan dan berbagai faktor kontekstual lainnya. Sayangnya, berbagai aspek teknis mengenai m-Kesehatan belum diatur.
Konferensi Nasional Promosi Kesehatan Rumah Sakit (Konas PKRS) ke-4 telah sukses digelar di Jakarta pada 27 hingga 30 November lalu. Pertemuan tingkat nasional tersebut dihadiri oleh praktisi promosi kesehatan dari berbagai institusi seperti Kementerian Kesehatan, rumah sakit, asosiasi profesi, akademisi, dan badan usaha. Tema yang yang diusung adalah “Strategi Promosi Kesehatan dalam Mencapai Reorientasi Pelayanan Kesehatan: Kebijakan dan Praktik berbasis Data”.
Di era disrupsi seperti sekarang, menjadi penting untuk mendiskusikan tentang reorientasi layanan kesehatan melalui kesehatan digital. Apakah rumah sakit yang aktif di sosial media dan mengembangkan portal rumah sakit berarti sudah mewujudkan praktik PKRS menggunakan teknologi digital?
Laporan World Economic Forum yang berjudul The Future of Jobs Report 2018 mengulas tentang potensi digitalisasi (atau secara spesifik adalah Revolusi Industri 4.0) terhadap struktur pekerjaan di masa depan di berbagai sektor, termasuk kesehatan. Jutaan pekerjaan bisa hilang. Di sisi lain, pekerjaan baru bermunculan. Hal ini wajib diantisipasi oleh sektor pendidikan, termasuk diantaranya adalah pendidikan kedokteran.
Catatan khusus mengenai hal ini dimuat di Jakarta Post, terbitan 8 Desember 2018 dengan judul Medical education 4.0. Dalam tulisan tersebut, saya menyoroti tentang perlunya kaji ulang 2 standar pendidikan, yaitu Standar Kompetensi Pendidikan Dokter Indonesia dan Standar Kompetensi Pendidikan Dokter Indonesia. Keduanya diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) pada tahun 2012.
Enam tahun berlalu semenjak kedua dokumen penting itu dirilis. Berbagai perubahan fundamental dalam sistem kesehatan di Indonesia telah berlangsung. Era Jaminan Kesehatan Nasional telah dimulai pada tahun 2014 dan masih hiruk pikuk hingga sekarang. Masyarakat Ekonomi ASEAN mulai bergerak sejak 2015. Tujuan Pembangunan Global Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) telah ditetapkan pada awal 2016. Ditambah dengan masifnya wacana RI 4.0, revisi kedua standar tersebut menjadi urgen . Kabarnya, sudah ada revisi tetapi belum disepakati oleh KKI.
Namun, standar saja tidak cukup. Strategi yang tepat untuk menerjemahkan standar ke dalam proses pembelajaran dan atmosfir akademik menjadi tantangan bagi para pengelola program pendidikan kedokteran di Indonesia.
We use cookies to ensure that we could give you the best experience on our website. If you continue to use this site we will assume that you are agree with our decision.
Kami menggunakan cookie untuk memastikan bahwa kami dapat memberikan Anda pengalaman terbaik di situs web kami. Jika Anda terus menggunakan situs ini, kami akan menganggap bahwa Anda setuju dengan kami.Accept/Setuju