Menuntaskan pencapaian UHC di kabupaten/kota

Setiap tanggal 12 Desember, dunia merayakan hari Universal Health Coverage (UHC). Ini bertepatan dengan tanggal yang sama pada tahun tahun 2012, saat PBB mengeluarkan resolusi kepada seluruh pemimpin negara di dunia untuk memberikan perlindungan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas kepada semua warganya.

Mulai bulan Desember 2018, kabupaten Gunungkidul dan Bantul  meraih status UHC, menyusul kota Jogja. Piagam UHC diberikan oleh BPJS Kesehatan karena 95% penduduknya telah tercatat sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Dengan demikian, apakah tugas pemerintah daerah sudah tuntas dalam menjamin kesehatan warganya?

Perlindungan bersyarat

Pencapaian UHC oleh pemerintah kabupaten/kota tersebut patut diapresiasi karena lebih awal dari target nasional yang direncanakan pada tahun 2019. Upaya tersebut juga relevan dengan Tujuan Pembangunan Global (Sustainable Development Goals) pada indikator no 3.8 “mencapai jaminan kesehatan universal (universal health coverage), termasuk perlindungan risiko finansial, akses terhadap layanan kesehatan esensial yang berkualitas dan akses terhadap obat-obatan  dan vaksin esensial yang aman, efektif, berkualitas dan terjangkau bagi semua”.

Prestasi ini adalah bukti komitmen pemerintah daerah untuk melindungi warganya. Penduduk dijamin tidak akan menjadi sadikin, istilah untuk warga yang sakit sedikit menjadi miskin. Fenomena ini terjadi ketika pasien tidak mampu membayar biaya pelayanan kesehatan, sehinggga harus menguras tabungan atau menjual harta benda lainnya untuk melunasi ongkos kesehatan.

Dengan menjadi peserta JKN-KIS, layanan kesehatan esensial,  baik promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif telah dijamin di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) – tanpa biaya.  Asalkan, sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.

Peraturan Presiden no 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan memberi syarat: status kepesertaan aktif. Pasien yang menunggak iuran dan jatuh sakit dapat dikenakan denda, kala menggunakan layanan kesehatan dalam waktu 45 hari setelah mengaktifkan kartunya. Maksimal denda yang diterapkan dapat mencapai 30 juta. Nilai tersebut sangatlah signifikan jika dibandingkan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar Rp 1.454.154,15.

Proaktif mencegah nonaktif

Menurut WHO (2013), UHC meliputi 3 dimensi perlindungan. Pertama, perlindungan mendapatkan layanan kesehatan esensial yang bermutu sesuai dengan kebutuhan. Kedua, perlindungan terhindar dari pengeluaran kesehatan katastrofe (catastrophic healthcare expenditure), yaitu pengeluaran kesehatan rumah tangga melebihi 40% dari pendapatan yang tersisa setelah setelah memenuhi kebutuhan hidup. Ketiga, perlindungan layanan kesehatan untuk seluruh penduduk.

Piagam UHC untuk daerah baru berdasarkan dimensi yang ketiga, yaitu tercatatnya 95% populasi suatu kabupaten/kota sebagai peserta JKN-KIS pada masterfile BPJS Kesehatan. Namun, berapakah proporsi peserta yang nonaktif? Mereka inilah yang berpotensi mengalami kesulitan finansial jika tiba-tiba jatuh sakit karena status penjaminan berhenti sementara.

Data BPJS Kesehatan di tingkat nasional menyebutkan bahwa penghimpunan iuran pada peserta mandiri atau peserta bukan penerima upah (PBPU) hanya berkisar 63%. Jauh lebih rendah dibandingkan dengan kelompok penerima bantuan iuran (PBI) yang ditanggung oleh pemerintah pusat (100%) dan pemerintah daerah (90.7%).

Risiko penunggakan pembayaran kemungkinan besar terjadi pada PBPU kelompok informal yang tidak memiliki rekening bank. Menurut estimasi Bank Dunia (2016), baru 48,9% orang dewasa yang memiliki rekening bank. Sedangkan yang sudah menggunakan rekening untuk pembayaran tagihan rutin baru 12%. Pembayaran iuran JKN-KIS melalui mutasi debit dapat dilakukan secara otomatis sebelum tanggal 10 setiap bulan. Risiko penjaminan berhenti sementara juga bisa dialami oleh peserta yang ditanggung perusahaan atau PBI dari APBD, apalagi telat membayar.

Di sinilah peran kerjasama yang aktif dari BPJS Kesehatan dan pemerintah kabupaten/kota diperlukan, untuk menuntaskan UHC. Dalam Peraturan Presiden no 82/2012 disebutkan bahwa BPJS wajib Kesehatan berbagi data (termasuk kepesertaan) kepada pemerintah daerah. Dengan dukungan ekosistem mahadata yang dimilikinya,  BPJS Kesehatan dapat menyediakan informasi status nonaktif peserta lebih awal. Jika pasien berstatus nonaktif, apakah informasinya dapat dibagi ke pemerintah daerah untuk advokasi? Ada dilema antara perlindungan data pribadi dengan perlindungan kesehatan.

Aspek kepesertaan JKN-KIS juga berkaitan dengan dinamika penduduk. Kelahiran, kematian, perkawinan, status bekerja, pengangguran atau menjadi PHK akan mempengaruhi kepesertaan. Basis data BPJS Kesehatan dapat mengumpulkan lebih awal data terkini mengenai kelahiran dan kematian peserta JKN-KIS di fasilitas kesehatan. Di sisi yang lain, status perkawinan dan pekerjaan dapat dikumpulkan oleh kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dan Dinas Tenaga Kerja daerah.

Oleh karenanya, interoperabilitas data dan sistem informasi antar lembaga di tingkat kabupaten/kota dengan BPJS Kesehatan menjadi penting untuk menuntaskan pencapaian UHC dari segi kepesertaan dan perlindungan finansial. Untuk benar-benar tuntas nampaknya masih panjang. Apalagi menyangkut dimensi berikutnya: perlindungan atas layanan kesehatan esensial yang bermutu.

Menuntaskan pencapaian UHC kabkota
Menuntaskan pencapaian UHC kabkota
Continue Reading

Antisipasi DBD dan BPJS Kesehatan

Musim hujan, potensi DB (Demam Berdarah) harus diantisipasi. Demikian dituliskan di Pojok KR tertanggal 13 November 2018. Namun, apa kaitan antara DB atau DBD (Demam Berdarah Dengue) dengan BPJS Kesehatan?
DBD bukan penyebab berdarah-darahnya defisit BPJS Kesehatan. Penyakit tidak menular seperti jantung, kanker dan strokelah yang menjadi penyedot terbesar anggaran BPJS. Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD juga tidak bakal mengganggu neraca keuangannya. Pemerintah daerah atau pusatlah, bukan BPJS Kesehatan, yang akan menanggung biaya KLB DBD.
Defisit tapi Surplus
Secara keuangan BPJS Kesehatan mengalami defisit. Namun, dari segi data lembaga ini surplus bahkan melimpah ruah.
Dalam seminar Big Data for Improving Health Policy di Yogyakarta pada 7 November 2018, BPJS Kesehatan menyampaikan bahwa 2.446 Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL), 22.681 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama beserta sejumlah apotik dan optik rutin menyumbang data secara elektronik. Rerata per hari tercatat 612 ribu transaksi kesehatan.
Berbagai titik layanan tersebut menghasilkan data dengan volume besar, secara cepat, memuat beragam jenis dan variasi kualitas. Data penting yang meliputi aspek klinis (keluhan, diagnosis, pengobatan dan tindakan), demografis (karakteristik individu), riwayat rujukan, luaran pelayanan (sembuh, dirujuk atau meninggal) sampai dengan perilaku pembayaran premi tersimpan di basis data. Diduga karena motif finansial, fasilitas kesehatan relatif lebih tertib dalam mengelola dan memasukkan data ke dalam sistem elektronik.
Kekayaan data inilah yang bermanfaat untuk antisipasi DBD.
Mahadata untuk antisipasi DBD
Eksosistem mahadata yang disertai dengan teknologi pengolahan dan visualisasi data merupakan aset tak ternilai bagi para pembuat keputusan. Termasuk diantaranya adalah para pengelola kebijakan penanggulangan penyakit DBD baik di tingkat daerah maupun pusat.
Mereka memerlukan dukungan informasi yang lengkap, tepat waktu dan akurat. Analisis terinci mengenai gambaran kesakitan DBD, persebarannya, populasi terinfeksi, pola penularan, faktor risiko sampai dengan determinan lingkungan sangatlah diperlukan dalam untuk surveilans DBD. Informasi yang tepat dapat membantu Dinas Kesehatan dalam mengalokasikan sumber daya dan menggerakkan kegiatan. Dampaknya, upaya pencegahan, promosi kesehatan yang terarah di masyarakat, intervensi epidemiologis di lingkungan sampai dengan penyiapan fasilitas kesehatan bisa berlangsung secara efektif dan efisien. Teknologi mahadata memungkinkan sajian analisis dari yang sederhana, pemetaan kasus dan faktor risiko, data mining maupun yang lebih maju melalui sistem prediksi.
Mahadata tersebut dapat menggambarkan perjalanan alamiah penyakit DBD secara terinci dengan menyatukan data di FKTP dan FKRTL. Integrasi tersebut sangatlah memungkinkan dengan diterapkannya NIK (Nomer Induk Kependudukan) sebagai penanda unik peserta BPJS Kesehatan.
Peluang regulasi
Dari sudut pandang teknologi, banyak potensi yang dapat diangkat. Secara regulasi, apakah memungkinkan? Bolehkah data klaim yang pada dasarnya untuk kepentingan pembiayaan digunakan di luar tujuan tersebut?
Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan no 82/2018 menyebutkan pada pasal 84 ayat 1 “Dalam rangka pengambilan kebijakan di bidang kesehatan di Daerah, BPJS Kesehatan wajib memberikan data dan informasi kepada Kepala Dinas Kesehatan kabupaten/kota dan Kepala Dinas Kesehatan provinsi setempat secara berkala setiap 3 (tiga) bulan”. Pada ayat berikutnya disebutkan bahwa jenis data tersebut termasuk jenis penyakit dan kunjungan ke fasilitas kesehatan. Regulasi ini menjadi landasan penting upaya antisipasi DBD dengan memanfaatkan mahadata BPJS Kesehatan. Upaya tersebut akan memperkuat Dinas Kesehatan karena pedoman Kemenkes tentang surveilans DBD tidak disertai dengan aplikasi elektronik.
Di kancah internasional, Taiwan menyediakan 5% sampel data klaim jaminan kesehatan untuk kepentingan riset. Efek positifnya, lebih dari seribu makalah di jurnal internasional telah diterbitkan. Di Korea Selatan, data klaim jaminan kesehatan dihubungkan dengan data lingkungan untuk memberikan pengingat kepada masyarakat tentang risiko lingkungan.
Jelaslah bahwa BPJS Kesehatan berpotensi penting mengantisipasi penyakit DBD melalui penguatan sistem surveilans. Mekanisme berbagi data serta kerangka kerjasama antara BPJS Kesehatan dengan Dinas Kesehatan dalam menggunakan data tersebut perlu segera ditetapkan. Mumpung musim hujan baru saja mulai dan genangan air belum banyak bertebaran sebagai wahana berkembangbiaknya telur dan nyamuk Aedes aegypti.

dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 15 November 2018. 

 

 

Antisipasi DBD dan BPJS Kesehatan
Opini KR, 15 November 2018
Continue Reading

Menerka adopsi SIMRS

Sebelum program kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional bergulir, saya pernah menghitung jumlah rumah sakit yang telah menerapkan SIMRS. Sumber data yang digunakan adalah basis data registrasi rumah sakit yang dikelola oleh Bagian Program dan Evaluasi Ditjen Bina Upaya Kesehatan, Kemenkes. Pada tahun 2013, baru sekitar 740 rumah sakit yang telah menggunakan SIMRS, atau sekitar 30%. Kini (2017), jumlah rumah sakit yang menerapkan SIMRS sudah meningkat dua kali lipat, pada angka 1423 dari total 2734 di Indonesia . Meskipun secara proporsi menjadi lebih besar, yaitu 52%,namun secara jumlah ternyata masih banyak RS yang belum menggunakan SIMRS.

Peningkatan jumlah RS yang menggunakan SIMRS sangat terkait dengan kemajuan penerapan program JKN. Saat ini, peserta BPJS Kesehatan masih di kisaran angka 180an juta (atau pada kisaran 70-an %). RS yang menjadi mitra BPJS Kesehatan saat ini berjumlah 2033 (sekitar 75% dari seluruh rumah sakit). Memiliki SIMRS merupakan salah satu syarat agar RS dapat diterima sebagai mitra BPJS Kesehatan. Jika dibandingkan dengan angka dari Ditjen Pelayanan Kesehatan, terdapat gap sekitar 600.  Pada Sistem Nasional Akreditasi Rumah Sakit yang mulai diberlakukan tahun 2018, keberadaan SIMRS juga menjadi salah satu ukuran. Pertanyaan besarnya adalah, kalau kita akan menerka seberapa jauh adopsi SIMRS di Indonesia, angka mana yang akan digunakan dari ketiga opsi di bawah ini:

  • RS yang sudah bermitra dengan BPJS Kesehatan
  • Basis data registrasi online RS di Ditjen Yankes
  • Data RS terakreditasi menggunakan SNARS dari KARS

Jika hasilnya memang berbeda-beda, itulah Indonesia.

 

 

Continue Reading